
Kota Tangerang – FM3 Hotel & Transit membantah keras tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Manajemen justru menyalahkan warga sekitar yang dianggap “keberisikan” akibat kebisingan saat aksi unjuk rasa mahasiswa.
“Itu bukan preman, itu kayaknya warga. Soalnya mereka bawa toa, mungkin ada yang keberisikan,” ujar Seno, manajer operasional FM3, mencoba menepis dugaan keterlibatan pihaknya dalam insiden pemukulan aktivis mahasiswa Kamis (6/6/2025).
Namun, bantahan tersebut langsung mendapat tanggapan dari Fuji Rahmansyah warga yang tinggal tidak jauh dari FM3. Ia menolak tudingan bahwa kebisingan aksi mahasiswa yang menjadi pemicu ketegangan.
“Kalau berisik mah kayaknya suara knalpot sama klakson lebih kenceng daripada toa,” katanya tegas, menegaskan bahwa kebisingan bukan alasan yang masuk akal.
Di balik perdebatan soal kebisingan ini, kenyataan yang dihadapi warga justru jauh lebih kompleks. FM3 yang berlokasi di kawasan strategis ini bukan hanya sebuah hotel atau tempat karaoke biasa.
Dengan ruang-ruang bertema kota-kota dunia seperti Amsterdam, London, dan Tokyo, gedung ini menyajikan kemewahan dan pencahayaan remang yang menciptakan suasana eksklusif. Namun, dari pengamatan dan informasi yang berhasil dihimpun, FM3 diduga menjadi pusat aktivitas terselubung yang melampaui fungsi hiburan semata.
Ruang karaoke yang dilengkapi toilet pribadi dan sejumlah kamar inap di dalam kompleks diduga digunakan untuk kepentingan yang tidak akomodatif. Pola aktivitas yang berulang, seperti perempuan muda berdandan mencolok yang datang malam dan pulang pagi dalam kondisi mabuk atau bahkan terlibat perselisihan, sudah menjadi pemandangan biasa di lingkungan sekitar.
“Yang nyanyi dan yang nemenin itu terpisah. Jam tertentu mereka pindah ke kamar. Polanya sudah seperti alur yang sudah diatur,” ungkap seorang warga.
Keluhan warga yang sudah disampaikan ke RT, RW, hingga kelurahan nyatanya tak pernah berbuah tindakan tegas. Lebih mengkhawatirkan, ada dugaan bahwa aliran uang dari FM3 mengalir secara sistemik ke berbagai pihak berpengaruh.
Oknum pejabat daerah diduga memberi izin khusus dan pembiaran operasional, aparat keamanan tertentu menerima “imbalan” agar tidak mengawasi ketat, serta tokoh ormas dan kelompok lokal yang berperan menjaga wilayah dan membungkam kritik warga atau aktivis.
“Bukan cuma rupiah yang dijadikan pertukaran, kadang juga berbentuk fasilitas komplimen mengalir dari FM3, dari transaksi yang tidak resmi, ke berbagai jalur. Ini sudah jadi bisnis gelap yang sistemik dan sulit disentuh,” kata seorang narasumber yang memahami seluk-beluk di lapangan.
Situasi menjadi semakin rumit karena warga yang berani bersuara menghadapi intimidasi terselubung. Tokoh pemuda yang diduga dekat dengan pengelola FM3 aktif meredam protes dan mengancam siapa saja yang berani melawan.
“Sudah sering ada yang ditekan, bahkan dikeroyok, agar tidak ribut soal FM3. Ini membuat warga merasa takut dan pasrah,” tambah warga lainnya.
Pemukulan terhadap aktivis mahasiswa M. Eddy Sopyan bukan sekadar kekerasan fisik biasa, melainkan sinyal kuat bahwa ruang kritik dan kontrol sosial terhadap tempat seperti FM3 sedang terkekang oleh jaringan kekuasaan dan uang.
“Kalau ini benar hanya karaoke, kenapa warga takut bicara? Kenapa ada kekerasan terhadap mereka yang berani bersuara? Dan kenapa aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru diam seribu bahasa?” tanya salah satu warga dengan nada getir.
Warga yang mendukung aksi mahasiswa juga menegaskan bahwa mereka bukan pelaku kekerasan. “Kami warga sini mendukung mahasiswa. Tapi kami memang tidak bisa banyak bicara karena ada tekanan dari tokoh pemuda yang diduga mendapat ‘jatah’ dari pengelola FM3,” kata seorang warga.
Mereka pun mengeluhkan berbagai gangguan sosial akibat keberadaan FM3, mulai dari perempuan berpakaian minim yang mabuk berat hingga perselisihan yang berujung kekerasan.
“Sudah biasa melihat mereka bubaran pagi-pagi dalam keadaan mabuk, ada yang sampai pingsan dan berkelahi. Ini bukan citra tempat hiburan yang sehat bagi lingkungan,” ujarnya.(cenks)